Romadoni Yunanto, S.Pt.
Thursday, August 03, 2006
Mengais asa Warga Sekitar Sungai Busa, Garuntang
Pagi yang tak begitu cerah. Awan hitam nampak mengumpal menutupi cahaya mentari diatas cakrawala. Di kawasan industri, kelurahan Garuntang, kecamatan Panjang Bandarlampung, desing kendaraan begitu bising penatkan jiwa. Kesejukan pun terhenpas. Terusik, lantaran udara pagi itu berbaur menjadi satu bersama gerahnya debu jalanan. Terbang tersapu oleh hilir mudik kendaraan melaju.

Tepat disebuah plang putih bertuliskan: Multi km 7 dengan dasar hitam yang jelas terbaca, kira-kira tujuh kilometer tak jauh dari perempatan Kali Balok dijlan by pass Soekarno Hatta, ‘ruh’ kehidupan sudah menggeliat.

Para buruh pabrik nampak sudah sibuk dengan aktivitasnya. Mungkin, sejak pagi buta, mereka sudah stand bye digudang baru yang masih gress itu. peluh sudah membasahi leher dan sekujur tubuhnya. Sibuk mengarungi coklat kedalam karung-karung bersar warna putih. Lalu diangkut dan ditata kedalam pabrik yang masih baru.

Didepan pabrik terlihat hamparan luas perbukitan hijau yang memanjang tak berujung. Seperti akan memeluk bumi untuk selamanya. Dikejauhan, kedua mata disuguhkan anugrah Ilahi yang terindah. Begitu jelas, nampak mah birun tanpa batas melingkari teluk Lampung.

Satu kilometer.langkah kaki berjalan menelusuri jalan berdebu tersebut. setelah itu, masuklah kesebuah jalan tak bertuan. Agak sedikit curam. Tingkat kemiringan kira-kira lebih dari 45 derajat. Tak beraspal, licin dan berkerikil.

Lumayan jauh langkah kaki menyusuri jalan yang tak bersahabat tersebut. sekitar lima belas menit berjalan, barulah tiba disebuah perkampungan yang bernama Balok Garuntang. Kampung yang berada dibawah sebuah perbukitan. Dari atas, nampak jelas jika pemandangan kampung tersebut semerawut.

Untuk menuju jalannya agak menantang tak hanya jalan curam setapak, namun juga harus melewati jembatan gantung yang membelah kali (Sungai) Balok.

Melewati jembatan yang panjang puluhan meter tersebut, tidak sembarang melangkah. Harus hati-hati dan jaga keseimbangan selain mudah goyah, kondisinya pun sangat memprihatinkan. Ada beberapa anak bambu yang sudah patah. Jika mata tak awas, kaki kejeblos, dan tubuh bisa terhempas. Jatuh terjebur ke sungai.

Di atas jembatan tersebut. terdengar gemercik riak air sungai yang mengalir berbenturan dengan bebatuan hitam. Arusnya begitu deras menandakan jika sungai tersebut dangkal. Di sekitar dinding bebatuan tersebut, tumbuh subur lumut hitam. menyelimuti kulit bebatuan.

Namun, ketika kedua mata dengan tajam diarahkan ke sungai tersebut. pemandangan tak sedap langsung menyergap. Ternyata sungai itu tak ‘perawan’ agi karena ‘diperkosa’ eh ‘nafsu bejat’ limbah dan aneka sampah.

Airnya tak lagi jernih. Namun keruh, bewarna coklat kehitam-hitaman. Bukan hanya itu, nampak pula busa putih menggunung mengapung di atas hamparan sungai. Semakin dekat, bukan hanya tak sedap dipandang, namun aroma busuk dengan sekejap menusuk hidung. jika belum terbiasa, bukan tidak mustahil jika aroma sungai tersebut membuat mual, lalu memuntahkan isi perut.

Sumber kehidupan warga sekitar tersebut, kini tak lagi ‘bernyawa’. Kesombongan pabrik industri yang berdiri disekitar sungai tersebut adalah sumber kematiannya. limbah pabrik industri telah menghilangkan fungsi alamiah dari sungai tersebut. Sungai yang dulu dikenal dengan nama Sungai Kedamaian dan berubah menjadi Sungai Busa tersebut, kini tak layak lagi pakai untuk hajat hidup orang banyak.

Pemandangan tak sedap ternyata juga hinggap disekitar Sampah, hingga kotoran ayam dan kambing berceceran di sepanjang jalan.

Sebagian besar rumah warga sekitar pun terkesan ala kadarnya. Sempit, tak memenuhi standar kelayakan. Bagaimana tidak, karena sebagian warga bekerja sebagai buruh, pendapatannya hanya cukup untuk makan.

Saat melintasi jalan sekitar, aktivitas warga pun terlalu mengeliat seperti kampung lainnya. Tak ada kesibukan yang berarti. Suasana begitu legang.

Yang terdengar hanya riuh bocah-bocah bertelanjang kaki bahkan ada yang bertelanjang dada yang sedang bermain. Di halaman sekitar mushala kecil berukuran 9 x 10 m tersebut mereka asyik bermain kejar-kejaran, bermain sepakbola, petak umpet, dan ada yang bermain ban bekas mobil. Adapula yang bermain pasir membuat istana pasir. Gelak tawa terdengar keras, memecah kesunyian siang. Bocah-bocah kecil itu riang bermain tanpa mempedulikan lingkungan sekitar yang yang mengancam kesehatan diri mereka.

Demikian halnya dengan aktivirtas para ibu-ibunya. Di atas pos ronda yang letaknya ditengah perkampungan, tiga ibu-ibu sedang melepaskan penat sambil tidur-tiduran di pos ronda sambil mengasuh anaknya masing-masing yang masih balita. Suara berisik para bocah tak mengubris istirahat mereka.

Saat kedua langkah kaki ini berjalan mengelilingi perkampungan, ternyata jarang sekali ditemukan para lelaki. baru sekitar 30 meter dari pos tersebut, nampak lelaki setengah baya tengah duduk santai sambil menyeruput kopi disebuah kedai berukuran 2 x 3 m, berdindingkan geribik warna putih. Lelaki berperawakan kurus, tinggi kurang lebih 165 cm, berambut putih, bermata sedikit merah. Lalu menghampiri Teknokra. “Mau ngopi dik atau teh dik,” ucapnya sambil menghisap dalam-dalam sigaret ditangannya. Isapan rokok tersebut sesekali membuat ia terbatuk-batuk.

Lelaki yang bernama Saidi (51), keturunan Sunda tersebut ternyata begitu bersahabat. “Kok sepi, para lelaki pada kemana pak,” tanya Teknokra mengawali obrolan siang itu, “Oh…, mereka sedang kerja sebagai buruh, berangkat pagi pulang sore,” jawab Saidi yang juga berprofesi sebagai tukang penggali sumur.

Asyik betul ngobrol bersama Saidi. Penduduk asli Kampung Balok Garuntang tersebut bercerita panjang lebar tentang halaman sejarah kampungnya. “Kampung ini diapit oleh dua sungai, sungai yang pertama berasal dari arah kedaton, Bandarlampung dan satunya berasal dari arah Tanjung Karang. Dan keduanya menyatu di desa ini, dan selanjutnya menuju ke laut,” terang Saidi.

Beracun!
Dulu, keduanya sungai tersebut airnya jernih. Warga sekitar dapat bebas tanpa takut bercengkerama dengan air sungai. “Dulu ikan-ikan, kepiting, dan udang bisa dilihat dengan jelas oleh mata. Seneng dulu kalau lihat ikan. Dan kalo mo’ ngambil ikan, wah gampang banget, tinggal ambil serok aja dapet banyak,” kenang Saidi.

Itu tempo dulu. Kini, nyaris kondisi sungai berubah total. Ikan jarang sekali ditemukan. Mati lantaran air telah terkontaminasi zat kimia. Mungkin, hanya ikan lele yang dapat bertahan di air kotor tersebut. “Wah lelenya besar-besar, bisa selenganlah, kalau pas dapet bisa nyampai 15 ekor ikan, lumayan khan buat lauk sehari,” kenang Saidi.

Pun halnya mandi, bukannya badan lebih bersih, justru nambah kotor. Kulit menjadi lengket lantaran limbah nempel dibadan. Pencemaran tersebut sudah terjadi sejak memasuki tahun ’80 an. Tepatnya, ketika pabrik-pabrik industri di Garuntang sendiri.

Karena tidak mempunyai saluran pembuangan limbah, pabrik-pabrik seperti industri seperti industri kecap, sari manis, pakan ternak, pabrik pisang, tetes, dan industri lainnya membuang limbahnya ke sungai. Lebih praktis dan efisien.

Namun tindakan sembrono para pengusaha tersebut merupakan malapetaka
Bagi warga sekitar sungai. Warna pekat limbah ternyata berhasil menyapu kejernihan warna sungai. Bukan hanya itu, limbah tersebut pun membentuk busa dan berbau. Sudah pasti, “racun” pun mengalir mengikuti aliran sungai.

“Kalau pagi atau sore wah ngga’ tahan baunya, kayak udang busuk dik, mungkin bisa mual yang baru pertama kali kesini,” aku Saidi. Apa yang dikatakan Saidi sesuia dengan kenyataan. Aroma busuk zat kimia terasa menusuk hidung. Hingga terasa ingin muntah.

“Kalau mau lihat busa yang lebih banyak adik jalan aja ke hulu yang ada air terjunnya itu, dan air terjun itu berada dibalik bukit kecil,” ucap Saidi.

Teknokra mengamini tawaran tersebut. tak jauh dari kedai tersebut, ternyata ada sebuah jembatan yang terbuat dari kayu. Agak kokoh membentang. Dari atas jembatan tersebut, pemandangan memprihatinkan nampak begitu jelas. Di tengah busa yang menggunung, ternyata ada sebagian warga sekitar yang mencuci, mandi, dan ada pula yang sedang berendam di sungai, mencari cacing darah untuk pakan ikan Lao Han. Entah mereka tak sadar akan bahaya mengancam, atau memang lantaran terpaksa mereka menggunakan sungai tersebut.

Untuk menuju ke air terjun, jalannya agak sedikit menanjak. Sekitar tiga puluh menit mendaki baru nampak dari arah ketinggian, begitu jelas busa kental berwarna putih yang menggunung. “Bahkan kalau nggak ada angin, biasanya tingginya sampai setinggi rumah, ya bisa delapan meteranlah tingginya,” ucap Saidi.

Saat berada di puncak tingginya sekitar sepuluh meter, gemuruh air yang jatuh terdengar memecah siang itu. Tekanan air yang kuat semakin membentuk busa seperti busa deterjen. Sedikit demi sedikit, jatuhan air tersebut lama-lama menjadi bukit busa. Menutupi permukaan air yang berada dibawah air terjun. Angin yang menghembuskan busa-busa tersebut ke udara.

Semenjak air sungai tercemar, sebagian masyarakat enggan mandi di sungai. Pasalnya, setiap usai menggunakan air sungai, kulit menjadi gatal-gatal. Saidi sendiri sempat mengalaminya. Saat kedua kakinya tak sengaja terendam air sungai. Tiga hari kemudian tumbuh bentol-bentol berair dan terasa gatal-gatal di kedua kakinya .

Saidi langsung pergi berobat ke dokter. Namun, penyakit tak juga sembuh. Pelbagai obat telah ia coba. Hasilnya tetap nihil. Gatal terus menggerogoti kedua kakinya. Satu bulan, ia harus menerima siksa dari limbah jahanam tersebut. “Wah rasanya panas dan perih dik,” ungkap Saidi. Namun ‘mukzizat’ baru ia dapat. Ketika salah satu tetangganya meyarankan agar Saidi memakan cecak hidup-hidup. Karena sudah tidak tahan sakitnya, tanpa pikir panjang, cecak yang ia dapat langsung ditelan hidup-hidup. Setelah itu, rasa sakit pun perlahan sirna. Hingga akhirnya ia pun kini sembuh total.

Lantaran pengalaman tragis tersebut, Saidi tak lagi berani menyentuh air sungai. “Saya kapok dik,” ucap Saidi. Kesehariannya tidak menggunakan air sungai. “Tidak tahan karena bisa langsung kena dampaknya lho,” tambahnya.

Pengalam serupa juga di alami Mudin (47), salah satu orang pencari cacing darah untuk pakan ikan Lao Han. Pertama kali berendam di air sungai, kedua kakinya terasa gatal-gatal dan bentol-bentol. “Wah selama dua hari garuk-garuk kaki terus dik, tapi lama-lama sudah nggak gatel lagi, mungkin keseringan berendam di air ya,” jelas Mudin sambil tersenyum.

Bukan hanya itu, salah satu kru Teknokra saja sempat kena dampaknya langsung, ketika sedang mengambil gambar, secara tak sengaja kedua kakinya terendam di air. Dampaknya mulai terasa pada saat malamnya. Sekujur tubuh terasa panas, kepala pusing dan seluruh badan timbul bentol-bentol berair. Susah sekali untuk tidur. Tiga hari kemudian barulah sembuh.

Selain menggerogoti kulit, warga sekitar pun tidak berani menggunakan untuk menyiram tumbuhan. Karena bukannya subur berkembang karena di siram, namun tumbuhan tersebut menjadi “mati”.

Seperti yang di tuturkan Aliyah (48), istri Saidi. Saat dirinya menyiram tanamam dan bunga kesayangannya memakai air sungai, tiga hari kemudian, tanaman dan bunga tersebut daunnya menjadi layu. “Saya juga heran kok habis disiram besoknya jadi layu, berarti bahaya banget khan air ini, jadi sekarang kalo nyiram pake air sumur aja,” ucap Aliyah.

Tragisnya, limbah tersebut juga ternyata berdampak pada kejernihan air sumur beberapa warga sekitar. Saat Teknokra memantau sebuah sumur buatan yang sengaja dibuat oleh penduduk yang berada ditepi sungai, ternyata air tersebut juga terlihat keruh. Tadinya menurut pengakuan warga, air sumur tersebut jernih dan layak diminum.

Diabaikan
Dampak yang sangat luar biasa tersebut tentu sudah sejak jauh hari dikeluhkan warga sekitar. Pihak Kelurahan sudah berupaya merespon agar pihak pabrik tidak membuang sampah sembarangan. Bahkan bersama pihak pabrik karet, yang memerlukan air bersih, sudah mengadu pencemaran tersebut ke pemerintah.

Awalnya, tuntutan mereka dijawab oleh pihak yang membuang limbah. Wajah sungai kembali bersih. Namun, lima bulan berlalu, pabrik-pabrik kembali berbuat ulah. Menabur racun ke air sungai.

Kini lantaran bosan mengadu, warha pun hanya bisa pasrah.“Wah kita khan orang kecil, percuma demo, ngaa’ bakal didengar,” ucap Saidi.

Ironisnya, tak sedikit pula warga sekitar yang menjadikan sungai tersebut sebagai tempat buah sampah. Bahkan, dikala pagi, siang, petang, hingga malam, warga yang tak punya WC, biasanya “nangkring” buang hajat dipinggir sungai. Melepas kepergian ‘si kuning’ mengambang.

Bahkan kegiatan tersebut bercampur baur dengan mencuci, mandi, dan sebagainya. Masyarakat sepertinya tak lagi riskan oleh penyakit yang ditimbulkan dari limbah sungai tersebut. Salah seorang ibu yang tengah mencuci menuturkan, “Bersih kok mas, lagian ngaak gatel, sudah biasa dik nyuci disungai kayak gini, habis mo gimana lagi,” jawabnya ibu tersebut mengucek-ngucek pakaian yang dicucinya.

Tak jauh dari lokasi tersebut, dua anak kecil yang berumur 10 tahunan pun asyik bermandi. Dengan berbekal gayung, sikat gigi dan sabun, keduanya nekat mandi di sungai yang hitam. Sama halnya dengan penuturan ibu-ibu, kedua bocah mengaku, “Nggak gatel kok, seger lho mas, mau nyoba,” ajaknya pada Teknokra.

Bukan hanya itu, ternyata ada sebagian warga yang menjadikan sungai tersebut sebagai sumber pendapatan. Bukan dari hasil tangkapan ikan, namun keuntungan diperoleh dari hasil tangkapan Cacing Darah yang berukuran kurang lebih satu centimeter dan berwarna merah.

Semenjak trend Ikan Lao Han melanda, warga sekitar ternyata turut kecipratan rezeki dari sungai yang tercemar tersebut. Pasalnya, pakan yang digemari oleh Ikan Lao Han berupa Cacing Darah tersebut berkembang biak di Sungai Busa. Karena itu, tak sedikit warga sekitar yang berburu Cacing Darah untuk mengais rezeki.

Mudin (47) misalnya. Bersama rekan-rekannya, dengan menggendarai sepeda, sepeda motor, ataupun menyewa mobil mereka berbondong-bondong datang dari Kampung Sawah Bandarlampung menuju Kampung Balok ini untuk merendam guna mendapatkan Cacing Darah.

Demi sesuap nasi, mereka rela berendam disungai hitam dan tercemar tersebut. Namun, mereka mengaku rasa gatal sering menyerang, “Awalnya sih gatal-gatal beberapa hari, tapi lama-lama sudah biasa, namanya juga sudah resiko pekerjaan,” ucap Mudin.

Kedua tangan mereka menggerayangi dasar sungai tersebut. Bahkan, diantara mereka ada yang rela menyelam dalam timbunan limbah. Dengan menggunakan bak plastik ukuran besar, drum plastik, dan saringan, sedikit demi sedikit hasil tangkapan mereka kumpulkan.

Cacing Darah tersebut hidup di antara lumpur hitam. Lalu lumpur tersebut disaring terbuat dari kain tipis dan halus. Setelah dirasa cukup, mulailah diayak secara perlahan. Sabar dan teliti. Setelah diayak, nampaklah cacing yang masih bercampur kotoran. Kotoran-kotoran tersebut lalu dibuang. Sedangkan cacing-cacing dipindahkan ke bak yang berisi air jernih. Kemudian di saring kembali didalam bak hingga bersih tanpa kotoran.

Menurut Mudin, setiap harinya ia bisa meraih empat sampai puluhan kobok cacing darah perhari. Harga satu koboknya berkisar antara lima ribu rupiah sampai dua belas ribu rupiah. “Tapi sekarang harganya jatuh, kini satu kobok harganya lima ribu, abis lagi banjir cacing, ”
keluh Mudin.

Maka Mudin pun lebih sering menjual cacing dengan cara eceran, yakni dibungkus memakai plastik kecil seukuran plastik es balon. Untuk satu kobok dapat di bagi menjadi 25 bungkus plastik kecil. Satu plastik seharga seribu rupiah. “Lebih untung dik,” jelas Mudin. Mudin mengaku pernah meraup keuntungan dalam sehari sekitar 100 ribu lebih dari menjual cacing. “Ya cukuplah untuk makan kelurga sehari,” ucapnya.

Mudin yang sudah dua tahun menekuni bisnis cacing, mengatakan profesi pencari cacing merupakan pekerjaan yang mudah, syaratnya yakni harus tekun dan sabar. “Kalo nyari cacing, jangan terburu-buru karena cacingnya itu kecil-kecil jadi harus sabar banget,” sarannya.

Loksi jelajah Mudin pun selalu berpindah pindah tempat. Malahan sampai ke luar Bandarlampung. Antara lain Kota Bumi, Bandar Jaya, Metro, Pekalongan, dan masih banyak kota lainnya. Alasan “Karena jika dikuras terus menerus maka lambat laun habis.

Hal serupa juga diungkapkan oleh Beben (25). Ia sudah setahun lebih bekerja sebagai pencari cacing darah. Menurutnya Cacing Darah di Sungai Busa tak kenla habis. “Jarang sekali, ada sungai kayak gini, paling banter beberap bulan aja udah habis cacingnya, tapi ini malah tetap aja ada caingnya, ucap Beben. Dari mencari caing darah, Beben pernah meraup keuntungan satu juta rupiah. “ya sekitar sejuta lah sehari itu, kira-kira dapat 80 kobok cacing, tapi itu pas harga cacing lagi tinggi sekitar 15 ribuan per koboknya, wah semua orang yang nyari cacing dapet duit banyak,” kenangnya.

Saidi bercerita agak lain, ternyata meski sungai Busa tercemar dan tidak indah dipandang, banyak dijumpai muda mudi yang cari lokasi ‘strategis’ disekitar sungai. “Kalo pas hari minggu itu rame para muda-mudi pergi ke air terjun, ya biasalah buat pacaran.

Apa yang diucapkan Saidi memang benar. Ketika hari minggu (5/9) Teknokra sempat memergoki dua pasang muda-mudi tengah bercumbu. Rupanya, dua jam kemudian ada penambahan lagi, tiga pasang muda-mudi datang ke air terjun. “Wah mereka kalo pacaran betah banget, ada yang nyampe sore, malahan ada yang nyampe malem, ya namanya lagi kasmaran wajar,” ucap Beben.

Serunya, Saidi pun sempat menerima peristiwa mistis. Ada kisah aneh yang menimpa beberapa orang pencari cacing. Cerita itu sendiri di dapat Saidi ketika para pencari cacing sedang beristirahat dan bercerita di warungnya. Menurut Saidi, ada dua orang pencari cacing sedang asyik mencari cacing, tiba-tiba muncul buaya putih tanpa ekor, berada diatas batu di dekat mereka, “Tanpa pikir panjang keduanya akhirnya lari terbirit-birit. Padahal sepengetahuan Saidi sungai ini tak ada buayanya. Ada juga yang sedang mencari cacing, tiba-tiba dari kejauhan ia melihat ada seorang bertubuh besar, berkulit hitam, penuh koreng, berada di sungai.

Masih menurut Saidi, terkadang sungai ini juga kerap membawa mayat anak-anak yang mati tenggelam disungai. Kejadian tersebut terjadi ketika musim penghujan. Saidi sudah lupa kejadian persisnya. Kebanyakan yang tenggelam dan meninggal berasal dari Tanjung Karang. “Kalau ada yang hanyut, wah ramai, banyak orang yang nyari di sepanjang sungai,” ucap Sadi.

Ternyata Sungai Busa menyimpan sejumput ceria. Hitam putih semua ada di Sungai Busa. Namun, cerita dulu sepertinya tak ada guna untuk dikenang. Alangkah baiknya jika cerita akan permasalahan yang tengah terjadi sekarang terus didendangkan. Cerita yang mengangkat tema: Pencemaran.

Walau bagaimana pun, pencemaran dari ulah pabrik industri di sekitar Sungai Busa harus dihentikan. Karena sebagian besar warga sekitar, sungai menjadi salah satu sumber kehidupan. Jika kondisi terus berlanjut. Entah berapa banyak korban yang di timbulkan. Mungkin sekarang baru sekedar gatal-gatal. Namun, entah esok atau lusa, tidak menutup kemungkinan, jika racun yang menyebar di aliran sungai tersebut dapat membawa kematian.

posted by Romadoni Yunanto, S.Pt. @ 5:34 AM  
7 Comments:
  • At 12:06 AM, Anonymous Anonymous said…

    Predilection casinos? cloth this embryonic [url=http://www.realcazinoz.com]casino[/url] tickle and wing it denigrate online casino games like slots, blackjack, roulette, baccarat and more at www.realcazinoz.com .
    you can also into our redesigned [url=http://freecasinogames2010.webs.com]casino[/url] unfortunate guide at http://freecasinogames2010.webs.com and be pleasing in key folding spondulix !
    another tastiness of the month [url=http://www.ttittancasino.com]casino spiele[/url] landscape is www.ttittancasino.com , during german gamblers, sell-out it sour with b be in power well-meaning online casino bonus.

     
  • At 7:26 PM, Anonymous Anonymous said…

    top [url=http://www.c-online-casino.co.uk/]uk casino[/url] coincide the latest [url=http://www.realcazinoz.com/]casino games[/url] free no store bonus at the foremost [url=http://www.baywatchcasino.com/]no deposit tip
    [/url].

     
  • At 12:05 AM, Anonymous Anonymous said…

    [url=http://www.onlinecasinos.gd]casinos online[/url], also known as accepted casinos or Internet casinos, are online versions of day-to-day ("hunk and mortar") casinos. Online casinos approve gamblers to hand-picked up and wager on casino games with the succour the Internet.
    Online casinos superficially put on the hawk odds and payback percentages that are comparable to land-based casinos. Some online casinos behest on higher payback percentages in the servicing of dredge defender games, and some publish payout captivate audits on their websites. Assuming that the online casino is using an fittingly programmed unsystematic reckon generator, improvement games like blackjack unsophisticated an established congress edge. The payout slice after these games are established at knee-jerk the rules of the game.
    Separate online casinos sublease or grasp their software from companies like Microgaming, Realtime Gaming, Playtech, Prevailing Contrivance Technology and CryptoLogic Inc.

     
  • At 9:02 PM, Anonymous Cara Aman Mengatasi Septictank Penuh said…

    blog nya sangat bagus info nya sangat bagus
    terus di update

     
  • At 7:19 PM, Anonymous Cara Mengatasi Saluran Yang Tersumbat said…

    banyak sekali info yang menarik di bloag ini

     
  • At 7:30 PM, Anonymous Mengatasi Septictank Penuh Dengan Starbio plus said…

    isi nya sangat menrik untuk di simak
    terimakasih gan

     
  • At 12:50 AM, Blogger Unknown said…

    terimakasih sangat bagus blog nya gan apalagi isi nya
    bikin ga bete lagi

     
Post a Comment
<< Home
 
About Me

Name: Romadoni Yunanto, S.Pt.
Home: Metro & Bandarlampung, Lampung, Indonesia
About Me: Saya orangnya asyik, cita2 ku ingin memberikan yg trbaik bg bangsaku, bisa mengabdi n mberikan yg terbaik buat kdua ortuku, yg terpenting mnjdi orang yang sukses dunia akherat, amien. Ketika kecil di SD 1 Gantiwarno Pekalongan Lampung Timur. Lalu di SLTP N 1 Metro. Waktu SLTP aktif di KIR & marchingband. Lalu dilanjutkan ke SMU N 1 Metro. Di SMA aktif di KIR, OSIS, Rois, Majalah Solusi, dan sempat membuat grup band bersama Ali, Bowo, Dima, Donie, Dody. Lalu masuk Perguruan Tinggi Universitas lampung mengambil jurusan produksi ternak. Di kuliahan aktif di Unit Kegiatan penerbitan Mahasiswa Teknokra yang bergerak di bidang journalist. Pernah menjadi Pemimpin Usaha Teknokra 2006 Dari sini mendapatkan banyak ilmu, mulai dari bisa fotografi, menulis, desain, berorganisasi, mengelola event dan sebagainya. Tepat 21 juni 2007 aku di wisuda dari Unila. Sedih, senang, bangga, syukur bercampur jadi satu. Kini kegiatan sehari-hariku menggeluti bidang marketing. OHYA BUAT TEMEN-TEMEN SMP, SMA, KULIAH APA KABAR KALIAN SEMUA, KAPAN YA BISA KUMPUL N REUNIAN NIE, PASTI KALO MAU KUMPUL PAS LEBARAN YA He..He.... email: mas_donkay@yahoo.com
See my complete profile
Sekarang Jam
BACA JUGA
ARSIP ARSIP
BLOG TEMAN
dd, Eriek, Gery, Udo Zul, Yudi, Taufik Qipote, Rieke, Mayna, Andreas Pantau, Siswoyo, Wida, Turyanto, M Ma'ruf, Udin, Suci, Suci Kwek, Nia, Iskandar, Nasrul, Shirei, Kana, K Yamin, Ndah, Destia, Dedy, Bhima, Ikram, Waeti, Icha, pojokbniunila, Cak Syam, M Sole, Mas didik, Denny
PESAN
    Name :
    Web URL :
    Message :
MEDIA
Universitas Lampung | Students Unila | Detik | livescore | Lirik | iloveblue | Lampung Post | Tempo Interaktif | Bisnis Indonesia | Kompas | ANTARA | The Jakarta Post | Gatra | Hai | Aneka Yess | RCTI | Indosiar | Liputan6 SCTV | ANTV | Trans TV | TV7
Pengunjung






Powered by


Free Blogger Templates

BLOGGER