Thursday, August 03, 2006 |
‘Gemuk’ Kantong dari Penggemukan Sapi |
Mmhhuuuoohhh……… Mmhhuuuoohhh……
Lengking suara puluhan sapi terdengar dari kandang. Lalu, dengan sigap lelaki setengah baya, memberi pakan ke sapi-sapi itu. Di Desa Astomulyo kecamatan Punggur, Lampung Tengah, kondisi semacam ini lazim ditemui. Desa yang makmur berkat usaha masyarakatnya dalam penggemukan sapi. Dan dibalik itu semua, Sujarno adalah pelopor penggemukan sapi itu.
Saat itu, Sujarno menuju kandang sapi di belakang rumahnya, lalu dengan sigap memberikan pakan rumput ke peliharaannya itu. Ia serius dalam bekerja. Sebanyak 30 ekor sapi Peranakan Ongol (PO) atau lebih dikenal dengan sapi biasa, berukuran besar dan berwarna putih, mengisi kedua kandang. Sapi-sapi itu pun langsung melumat makanan yang baru saja disediakan oleh ‘sang empunya’. Penggemukan sapi adalah usaha yang telah berhasil dilakukan Sujarno.
Di ruang kerjanya yang berukuran 6 x 8 meter, terpampang jelas foto Sujarno sedang memeluk sebuah piala besar. “Ya, foto juara 1 tingkat nasional Lomba Kelompok Ternak Koperasi Unit Desa (KUD) Departemen Pertanian Jendral Peternakan 1995. Itu saya mewakili Lampung, ikut Pekan Nasional (Penas) bidang peternakan di Nusa Tenggara Barat. Tadinya saya kaget juga, tiba-tiba orang Dinas peternakan mengutus saya untuk ikutan Penas, allhamdulillah malah dapet juara,” kenangnya bangga. “Pengalaman berharga bagi saya, yaitu dua kali bertemu dan bersalaman dengan Pak Soeharto (mantan Presiden RI), pada acara Penas,” lanjut Sujarno. *** Sujarno kecil adalah seorang anak desa yang lahir 20 April 1946 di Blitar, Jawa Timur. Ia merupakan anak pertama dari lima bersaudara. Kelimanya laki-laki semua. “Seperti Pandawa ya,” ucap Sujarno sambil tertawa ketika menceritakan keluarganya. Ayahnya, Sardi adalah seorang pandai besi biasa yang berpenghasilan pas-pasan. Melihat orang tuanya memiliki ekonomi lemah, Sujarno mau tak mau harus berhemat. Segala pengeluaran harus diperhitungkan secara cermat dan detail. Ini yang membuat Sujarno selalu perhitungan dalam segala hal.
Ketika tahun 1955 ayahnya, Sardi mengikuti transmigrasi ke Lampung, tak ayal lagi semua anak dan isteri pun dibawanya serta. Ya, Astomulyo, Kecamatan Punggur tempat yang dituju. Perlahan-lahan Sujarno tumbuh menjadi pemuda desa. Ia lalu bekerja menjadi petani membantu sang ayah yang sudah berganti profesi menjadi petani. Dan pekerjaan inilah yang membuat hidupnya semakin keras. Panas, hujan, tiap hari ia terima, sehingga tubuhnya semakin hitam.
Ia sadar pekerjaan sebagai petani tak dapat membuatnya bisa berkembang. Namun ia tetap senang menjalani profesi ini meski tawaran untuk pekerjaan lainnya juga kerap datang padanya. Pernah suatu hari, ia ditawari pamannya untuk masuk militer. Menurut sang paman, di militer lebih menjanjikan masa depan yang cerah akan tetapi Sujarno menolak tawaran sang paman. Alasannya Sujarno tidak suka bekerja bila ada semacam ikatan dinasnya. Selain masuk militer, ia juga pernah ditawari kawannya untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS), tetapi ia juga menolak tawaran itu. “Mungkin kalau dulu saya jadi masuk PNS, sekarang golongan saya sudah tinggi ya,” ujar Sujarno sedikit bergurau.
Sujarno kemudian berterus-terang kalau dia lebih suka berwiraswasta dari pada kerja dengan orang lain. Dengan wiraswasta menurut Sujarno segala sesuatunya lebih bebas, sukes atau tidak, ya tergantung diri sendiri yang menjalaninya. “Lagi pula saya orangnya nggak suka diperintah sama orang lain, dan terikat. Saya ingin bebas tanpa ada orang mengatur-ngatur saya,” lanjut Sujarno mengenai pilihan hidupnya ini.
Awalnya Sujarno mencoba berwiraswasta beternak ayam petelur. Namun usaha ayam ini pun ternyata tidak berlangsung lama karena ayamnya terserang virus kemudian mati. Lalu ia mencoba beternak bebek. Usaha ternak ini pun sama saja, tidak berjalan lama. Karena ia kasihan sama anaknya yang mengangon (mengembala) bebek di sawah, berangkat pagi pulang magrib. Maka ia putuskan untuk tidak beternak bebak lagi. “saya nggak tega,” ucapnya beralasan.
Setelah itu Sujarno lalu beternak kelinci dan berhasil, namun usaha ini terbentur masalah memasarankannya. Alhasil, banyak kelinci peliharaannya yang tidak terjual. Ia tak mengenal putus asa, terus mencoba untuk beternak sebagai sampingannya bertani. Kali ini Sujarno mencoba untuk berternak kambing. Usaha ini juga berhasil, kambing-kambingnya jadi semakin banyak. Namun ia merasa kerepotan untuk memeliharanya, maka satu persatu kambingnya akhrinya ia jual. Uang hasil penjualan dari kambing inilah yang ia belikan satu ekor sapi.
Dengan tekun ia rawat sapi itu hingga besar lalu kemudian dijualnya. Uang hasil penjualan sapi lalu ia belikan sapi kembali sebanyak dua ekor. Dari dua ekor menjadi empat, dan akhirnya menjadi ratusan ekor sapi. “Sapi itu uangnya besar, memeliharanya gampang, terus dijualnya juga cepat,” ujar Sujarno mengomentari usaha ternaknya itu. *** Sujarno memiliki rasa ingin tahu yang tinggi tentang peternakan. Ia selalu saja bertanya kepada orang yang berpengalaman seperti dokter hewan, peternak, orang Dinas ataupun masyarakat biasa tentang masalah ini. Hingga jangan heran kalau ia pun cukup dikenal dikalangan orang yang bergulat dengan hewan ternak ini. “Wah dik semua orang Dinas peternakan di Bandarlampung saya kenal, dari kepala dinasnya sampai stafnya saya kenal, ya itu dari sering ngobrol sama mereka, sering bertukar informasi,” jelasnya.
Dari obrolan itu Sujarno pun mengaplikasikan ke sapi. Ia langsung menggemukan sapi-sapinya untuk tujuan sapi potong secara intensif. Yakni dengan cara, sapi yang digemukan selalu dikandangkan dan diberi pakan yang bergizi tinggi. Untuk pakan, Sujarno meracik sendiri pakan sapinya itu. Ia mengambil dari limbah pertanian yakni hijauan, rumput gajah, kulit nanas, onggok, dan konsentrat. Kesemua pakan tersebut dicampur jadi satu, lalu diaduk supaya rata. Setelah rata baru diberikan pada sapi. Sujarno sendiri menyebut campuran pakan ini dengan nama formulasi pakan. Pakan ini berbentuk tepung. Dan pemberian pakannya dengan frekuensi 3 –5 kali/hari. Ternyata berhasil, dalam jangka penggemukan kurang lebih tiga bulan, sapi-sapinya menjadi cepat gemuk, dan laku dipasaran.
Sujarno sadar informasi ini harus dibagi-bagikan ke masyarakat. Karena ia melihat ini merupakan peluang bisnis yang menjanjikan. Lalu ia membagi-bagikan ilmu dan informasi ini kepada masyarakat sekitar tempat tinggalnya. Satu persatu mayarakat tertarik dan mengikuti jejak langkahnya untuk menggemukan sapi. Hingga akhirnya ia berinisiatif untuk membentuk wadah kelompok tani ternak sapi potong. Yang kemudian gagasan itu ia paparkan kepada rekan dan tetangganya. Ternyata mereka pun mendukung ide Sujarno itu.
Alhasil 23 Februari 1991, sebanyak 27 orang bergabung menjadi anggota kelompok tani ternak. Dan Sujarno dikukuhkan sebagai ketua kelompok tani ternak. Ia lalu menamai kelompoknya dengan nama kelompok tani ternak sapi potong Brahman. Setiap sebulan sekali para anggota kelompok berkumpul di rumah Sujarno. Awalnya seluruh anggota bisa hadir, tapi lama kelamaan ada yang tidak hadir. “Lalu saya berinisiatif untuk menjemput mereka satu persatu ke rumahnya pakai sepeda.” Kini ada 150 orang yang tergabung dalam kelompoknya. Dan anggota kelompok Brahman telah memiliki populasi keseluruhan ternaknya sekitar 1200 ekor sapi.
Dalam memimpin angotanya, Sujarno punya prinsip, kita harus bisa menjadi contoh terlebih dahulu, baru nanti kita akan dicontoh oleh orang lain. Dan dimana kita lahir dan tinggal di suatu daerah, maka semampu kita untuk mengembangkan daerah tersebut untuk maju dan makmur,” tegasnya. Sujarno yang dulu seorang petani biasa hidup pas-pasan dan memiliki rumah sederhana, kini setelah beternak penggemukan sapi ia mampu membuat rumah yang bagus. Sujarno pun bisa membangun sebuah kantor kelompok tani. Dan juga sebuah ruang rapat kelompok berukuran 10 x 8 meter lengkap dengan kursi dan pengeras suaranya. Bahkan ia mampu mengkuliahkan anaknya sampai sarjana.
Selain itu nama Sujarno pun terkenal dikalangan mahasiswa dan dosen peternakan Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Banyak diantara mahasiswa yang mengadakan praktikum dan magang di tempat Sujarno. Ia ahli dibidang peternakan khususnya penggemukan sapi. Padahal ia bukanlah lulusan sarjana peternakan. Pendidikan terakhir yang dikecapnya hanyalah Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP). “Itupun saya tidak lulus,” ucapnya mengenang. Ilmu peternakan ia dapati dari rajin bertanya kepada semua orang. “Saya itu orangnya selalu ingin tahu, makanya saya suka nanya kepada semua orang, karena ilmu itu kita harus terus mencari,” jelasnya.
Kini di usianya yang mulai tua dengan fisik yang mulai rapuh, Sujarno tak lagi mengurusi sapinya lagi. Untuk mengurus sapi, sudah dipegang salah satu anaknya, Yono. Namun, Sujarno masih secara aktif mengawasi usaha yang telah menopang hidupnya dan keluarganya selama ini, dengan dibantu istrinya Tuminem. “Kata anak saya, saya sudah tua nggak usah lagi ngurusin sapi, biar kita aja, bapak mendingan membina peternak saja,” ucap Sujarno menirukan perkataan anaknya.
Menurutnya untuk dapat bertahan sebagai pengusaha sapi seperti sekarang ini, harus benar-benar ketat dalam masalah keuangan. Baginya tidak ada prinsip menggunakan uang perusahaan untuk memenuhi kebutuhan pribadi. “Jangan makan jenang (dodol jawa) sebelum jenangnya jadi, artinya kita jangan makan uang perusahaan sebelum perusahan kita benar-benar jadi dan sukses. Ini yang harus dipegang oleh semua orang bila ia ingin sukses dalam mengelola usaha,” tandasnya.
Kini Sujarno masih menjabat sebagai ketua kelompok tani ternak, “Sebenarnya sudah berkeinginan untuk pensiun. Saya sudah tua, saya ingin digantikan dengan yang muda. Dan juga ingin menikmati masa tua, bergembira dengan ke sembilan cucu. Namun ternyata belum ada calon yang mampu menggantikan posisi tersebut. “Saya sedih, tapi saya akan berusaha untuk mencetak generasi yang muda untuk dapat menggantikan posisi saya,” ucapnya. Ayo siapa mau menggantikan?
Romadoni Yunanto Dimuat ditabloid Teknokra edisi 205 September 2004
|
posted by Romadoni Yunanto, S.Pt. @ 5:47 AM |
|
|
|
About Me |
Name: Romadoni Yunanto, S.Pt.
Home: Metro & Bandarlampung, Lampung, Indonesia
About Me: Saya orangnya asyik, cita2 ku ingin memberikan yg trbaik bg bangsaku, bisa mengabdi n mberikan yg terbaik buat kdua ortuku, yg terpenting mnjdi orang yang sukses dunia akherat, amien.
Ketika kecil di SD 1 Gantiwarno Pekalongan Lampung Timur. Lalu di SLTP N 1 Metro. Waktu SLTP aktif di KIR & marchingband. Lalu dilanjutkan ke SMU N 1 Metro. Di SMA aktif di KIR, OSIS, Rois, Majalah Solusi, dan sempat membuat grup band bersama Ali, Bowo, Dima, Donie, Dody. Lalu masuk Perguruan Tinggi Universitas lampung mengambil jurusan produksi ternak. Di kuliahan aktif di Unit Kegiatan penerbitan Mahasiswa Teknokra yang bergerak di bidang journalist. Pernah menjadi Pemimpin Usaha Teknokra 2006 Dari sini mendapatkan banyak ilmu, mulai dari bisa fotografi, menulis, desain, berorganisasi, mengelola event dan sebagainya.
Tepat 21 juni 2007 aku di wisuda dari Unila. Sedih, senang, bangga, syukur bercampur jadi satu. Kini kegiatan sehari-hariku menggeluti bidang marketing.
OHYA BUAT TEMEN-TEMEN SMP, SMA, KULIAH APA KABAR KALIAN SEMUA, KAPAN YA BISA KUMPUL N REUNIAN NIE, PASTI KALO MAU KUMPUL PAS LEBARAN YA He..He....
email: mas_donkay@yahoo.com
See my complete profile
|
Sekarang Jam |
|
BACA JUGA |
|
ARSIP ARSIP |
|
BLOG TEMAN |
dd,
Eriek,
Gery,
Udo Zul,
Yudi,
Taufik Qipote,
Rieke,
Mayna,
Andreas Pantau,
Siswoyo,
Wida,
Turyanto,
M Ma'ruf,
Udin,
Suci,
Suci Kwek,
Nia,
Iskandar,
Nasrul,
Shirei,
Kana,
K Yamin,
Ndah,
Destia,
Dedy,
Bhima,
Ikram,
Waeti,
Icha,
pojokbniunila,
Cak Syam,
M Sole,
Mas didik,
Denny
|
PESAN |
|
MEDIA |
Universitas Lampung |
Students Unila |
Detik |
livescore |
Lirik |
iloveblue |
Lampung Post |
Tempo Interaktif |
Bisnis Indonesia |
Kompas |
ANTARA |
The Jakarta Post |
Gatra |
Hai |
Aneka Yess |
RCTI |
Indosiar |
Liputan6 SCTV |
ANTV |
Trans TV |
TV7
|
Pengunjung |
|
Powered by |
|
|